KONSEP INSAN KAMIL DALAM KAJIAN PELITA HATI
A. Urgensi Tauhid dalam kajian Pelita Hati
Pembelajaran tauhid dalam pengkajian Pelita Hati merupakan materi awal dan mendasar sifatnya. Hal ini dirancang sebagai fondasi dari materi-materi selanjutnya yang sarat muatan filosofis dengan sentuhanzauq (rasa).
Inti tauhid terangkum dalam kalimah لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ . Lafaz لاَ berfungsi نَافِيَةٌ لِلْجِنْسِ (meniadakan jenis). Dalam kajian sufistik kalimah tauhid لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ diinterpretasikan dalam tiga tahapan. Pertama لاَمَوْجُوْدَ اِلاَّ اللهُ artinya tiada yang maujud kecuali Allah. Dalam tahap ini salik menyadari bahwa alam fenomenal yang serba ganda dan terbatas ini juga termasuk dirinya adalah tajalli dari Zat wājib al-wujūd.Jadi wujud alam ini bersifat idafi (bersandar) kepada wujud mutlak. Alquran surat Fātir: 41 menjelaskan
اِ نَّ اللهَ يُمْسِكُ السَّموتِ وَالاَرْضَ اَنْ تَزُوْلاَ وَلَئِنْ زَالَتَا اِنْ اَمْسَكَهًُمَا مِنْ اَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ قلى اِنَّهُ كاَنَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap, dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Qs. Fātir: 41).[1]
Kedua لاَمَعْبُوْدَ اِلاَّ اللهُ artinya tiada yang disembah kecuali Allah. Dalam tahap ini hamba meyakini bahwa segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan berposisi sama dengan manusia, bahkan manusia secara potensial dan aktual bisa meningkatkan kualitas dirinya menjadi insan kamil. Yang berhak disembah adalah Allah, wujud hakiki dan realitas mutlak. Berhala primitif seperti patung, keris, akik, dan pohon angker tidak layak disembah karena benda-benda itu menjadi sarana setan untuk menyesatkan manusia. Begitu pula berhala modern seperti jabatan, popularitas, harta benda, keakuan dan prestise juga tidak layak disembah dan didewa-dewakan karena semua itu adalah hiasan yang sementara dan bersifat semu. Ungkapan Jawa mengatakan bondo pungkasane lungo pangkat pungkasane minggat. لاَ pada kalimat tauhid لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ juga berarti “penolakan” untuk menepis pamrih-pamrih ibadah seperti barakah, rejeki lancar, surga dan sebagainya. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Sufyan as-Sauri berkata kepada Rabi’ah al-Adawiyah: “setiap keyakinan mempunyai syarat, dan setiap keimanan mempunyai realitas. Bagaimanakah realitas keimananmu?” Maka jawab Rabi’ah al-Adawiyah, “Aku tidak menyembah-Nya karena takut neraka-Nya, dan bukan karena cinta surga-Nya, sepertinya ini aku hanya pekerja kasar yang bekerja karena upah saja. Tapi aku menyembahnya karena aku cinta dan rindu kepada-Nya.[2] Ketiga لاَمَقْصُوْدَ اِلاَّاللهُ artinya tiada obsesi kecuali Allah. Dalam tahap ini salik memandang bahwa apa yang ia lakukan semuanya مِنَ الله (berasal dari Allah), فِى اللهِ(dalam realitas Allah) dan اِلىَ اللهِ(bermuara kepada Allah) karena Dia-lah yang baqā’ (kekal) dan selain-Nya adalah bersifat fanā’ (rusak). Alquran surat ar-Rahmān: 26 – 27 menjelaskan
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (٢٦) وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُوالْجَلاَلِ وَالاِكْرَامِ (٢٧)
Artinya:
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Qs. ar-Rahmān: 26 – 27).[3]
Muhammad Nafis al-Banjari mengemukakan empat peringkat tauhid, yaitu: tauhīd al-af’āl (tauhid perbuatan-perbuatan), tauhīd as-sifāt (tauhid sifat-sifat), tauhīd al-asmā’(tauhid nama-nama) dan tauhīd az-zāt (tauhid zat). Pada peringkat tauhid perbuatan-perbuatan hamba memandang segala gerak dan diam bersumber dari Allah. Lalu pada peringkat tauhid sifat-sifat dan nama-nama, hamba syuhūd (menyaksikan) dengan mata hatinya bahwa penglihatan, pendengaran, qudrah, ilmu dan hidupnya bukanlah hakiki, tetapi yang hakiki adalah penglihatan, pendengaran, qudrah, ilmu dan hidup Tuhan. Dan terakhir, pada peringkat tauhid zat, hamba syuhūd bahwa yang benar-benar ada hanyalah Allah swt.[4]
Sifat-sifat wajib Allah yang dua puluh terbagi empat bagian, yaitu nafsiyah, salbiyah, ma’āni dan ma’nawiyah. Sifat nafsiyah ialah sifat yang berhubungan dengan Zat Allah, yaitu sifat wujud. Sifat salbiyah ialah sifat yang menolak dan meniadakan sebaliknya, dengan kata lain memustakhilkan adanya sifat yang berlawanan dengan sifat tersebut. Sifat salbiyah ada lima sifat yaitu qidam, baqā’, mukhālafah li al-hawādisi, qiyamuhu binafsihi dan wahdāniyah. Sifat ma’āni ialah sifat makna, yaitu memastikan yang disifati itu bersifat dengan sifat tersebut. Jumlah sifat ma’âni ada tujuh, yaituqudrah, irādah, ilmu, hayāt, samā’, basar dan kalām. Sifat ma’nawiyah ialah sifat yang bergandengan dengan sifat ma’āni. Sifat ma’nawiyah ada tujuh yaitu qādiran, murīdan, ‘āliman, hayyan, samī’an, basīran dan mutakalliman.[5]
Kajian Pelita Hati mengikuti konsep Abu Hasan al-Asy’ari (873 – 935) yaitu mengenal Allah melalui sifat-sifat-Nya. Al-Asy’ari berpandangan bahwa sifat tidak serupa dengan zat, tetapi tidak juga terpisah darinya. Sebagaimana halnya sifat yang tidak dapat dibandingkan dengan sesuatu. Oleh karena itu tidak via media. Tuhan adalah eksistensi yang amat didamba, yang memiliki sifat-Nya bagi eksistensi-Nya, yang esensi dan eksistensi-Nya identik. Ajarannya adalah sebagai berikut: (1) tahapan esensi datang pertama kali, baru kemudian muncul sifat-sifatnya; (2) esensi mengada dengan sendirinya, dan sifat tergantung kepada esensi (seperti lilin dengan sifatnya yang lunak); (3) esensi bersifat tunggal, dan sifat bersifat ragam; (4) esensi memiliki kesadaran diri, dan sifat tidak memiliki satu pun; (5) esensi selalu tersembunyi, sedang sifat kadangkala tersembunyi kadangkala mewujud; (6) sifat-sifat pasti selalu dalam kedudukannya yang wajar; (7) perwujudan sifat yang satu pasti akan bertentangan atau menekan perwujudan yang lain.[6]
Pembelajaran tauhid berguna untuk menanamkan akidah sehingga salik memiliki keyakinan yang jazm (kokoh) karena dalam kehidupan ini keimanan seseorang harus diuji untuk membuktikan kehandalannya. Alquran surat al-Ankabūt: 2 menjelaskan
اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُتْرَكُوْا اَنْ يَقُوْلُوْا اَمَنَّا وَهُمْ لاَيُفْتَنُوْنَ
Artinya:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman, “sedang mereka tidak diuji lagi.” (Qs. al-Ankabūt: 2).[7]
Ujian keimanan bisa berupa fisik seperti sakit, krisis moneter, bencana alam dan kematian orang yang dicintai atau bersifat kejiwaan seperti munculnya karomah yang sering melenakan dan menghambat perjalanan spiritual.
Pemahaman materi tauhid akan mengantarkan salik untuk mengenal Allah. Pengenalan berarti “mengerti” sehingga tidak perlu bertanya lagi dengan kata tanya bagaimana, kapan dan di mana karena Dia tidak terjangkau oleh ruang, waktu dan fenomena. Ketika salik mengalami mukāsyafah (penyingkapan tirai) sehingga melihat realitas gaib ia pun tidak meragukan lagi tentang Dia karena telah memahami sifatsalbiyah.
Materi aqaid 50 dibahas tuntas dalam pengkajian Pelita Hati. Satu sifat dikupas sampai memakan waktu 3 – 6 kali pertemuan diselingi arahan dan praktek zikir. Pendekatannya adalah melalui “kitab basah” (dari hati ke hati) meskipun tidak meninggalkan literatur tekstual, di antaranya Ihya’ ulumudin karya al-Ghazali, Tambih al-Gafilin karya Abu al-Lais as-Samarqandi, Nur az-Zalam karya Muhammad Nawawi asy-Syafi’i, Kifayah al-Atqiya’ wa Minhaj al-Asfiya’ karya Abu Bakar al-Makky dan lain-lain. Pembahasan aqaid 50 pada kalangan santri sudah tidak asing lagi, bahkan banyak orang yang hafal di luar kepala karena doktrin sunni mewajibkan mukallaf untuk mengetahui secara rinci dan meyakini aqaid tersebut. Ahmad Marzuki al-Makky menyatakan dalam bait Aqidah al-Awam
وَبَعْدُ فَاعْلَمْ بِوُجُوْبِ الْمَعْرِفَهْ # مِنْ وَاجِبٍ ِللهِ عِشْرِيْنَ صِفَهْ
Sesudah itu ketahuilah akan kewajiban mengetahui sifat wajib Allah yang dua puluh.[8]
Kajian dalam Pelita Hati sebenarnya ilmiah, wajar dan tekstual. Kecurigaan sebagian orang akan eksistensinya hanya disebabkan karena ketidaktahuan, sesuai dengan ungkapan speaking is easy, komentar itu mudah, apalagi salah komentar.
B. Pembelajaran Martabat Tujuh
Materi martabat tujuh diberikan setelah aqaid 50 selesai. Martabat tujuh dalam pengkajian Pelita Hati merupakan cara pintas untuk mencapai makrifatullah. Dengan memahami materi tersebut jamaah diharapkan untuk bisa menyadari sangkan paraning dumadi atau proses terbitnya alam fenomenal termasuk manusia dari ketersembunyiannya untuk selanjutnya dapat meniti kembali tahapan-tahapan berikutnya sehingga sampai kepada asalnya kembali. Manusia di dunia ini hanya sebentar, ungkapan Jawa mengatakan mung kanggo mampir ngombe. Apabila ia bisa menemukan jalan kembali ke asalnya tentu ia mencapai bahagia, tetapi bila tertutup pandangan mata hatinya oleh kepulan debu dunia niscaya ia akan bingung karena tersesat dan semakin lama pula untuk bisa mencapai rumah sejati dan kampung abadinya.
Ajaran martabat tujuh dalam kalangan sufi merupakan materi yang diperselisihkan. Ada pihak yang memperbolehkan, ada pula yang melarang untuk mempelajarinya. Pihak yang memperbolehkan beralasan bahwa meskipun martabat tujuh termasuk kajian tasawuf falsafi yang ajaran-ajarannya bercampur dengan sejumlah ajaran-ajaran filsafat di luar Islam, seperti dari Yunani, Persia, India dan agama Nasrani akan tetapi orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya walaupun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka ragam, sejalan dengan ekspansi Islam pada waktu itu, tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. Pihak yang melarang beralasan bahwa nuansa falsafi ajaran martabat tujuh dengan objek bahasan yang melingkupinya seperti teori qutb, hakikat Muhammad, kesatuan wujud dan tanāsukh al-arwāh(reinkarnasi) adalah bertentangan dengan akidah Islam. Pihak yang memperbolehkan terdiri dari sufi yang juga filosof dan pihak yang melarang adalah kalangan fuqaha(para ahli fiqh).[9] Pengkajian Pelita Hati mengajarkan martabat tujuh karena materi itu juga disampaikan oleh guru-guru sebelumnya.
Dalam ajaran martabat tujuh disebutkan bahwa hanya ada satu zat, yaitu Zat Tuhan dan ada tiga tahapan batini dari tanazzulat, yaitu ahadiyah, wahdah dan wāhidiyah. Batas antara ahadiyah dan wāhidiyah disebut wahdah atau batas antara masa lalu dan masa mendatang. Wahdah adalah fajar diri di dalam diri, adapun wāhidiyah adalah fajar diri di dalam potensialitasnya. Wahdah merupakan realitas Muhammad dan dunia adalah manifestasi realitas tersebut.
‘Ālam al-arwāh (alam ruh universal) terbentuk dari asma kiyani ‘Aql kul yaitu wujud eksistensi pengetahuan Tuhan. Dalam bahasa syara’ ia disebut al-Qalam al-a’la (pena yang diagungkan). Seluruh jiwa-jiwa pribadi berisi ini dan semuanya merupakan penjelmaan dari satu jiwa yang disebut rūh a’zam (jiwa yang agung).[10]
‘Ālam misāl adalah pembatas antara dunia jiwa dan dunia penyebab. Misāl disebut dunia pemikiran verdical (pemikiran tanpa melalui aktivitas otak). Apa yang telah terjadi di dunia ini, pertama kali akan memperoleh bentuknya di sana. Dalam ‘ālam misāl, yang spiritual dimaterikan seperti kalam Allah yang bi lā harf wa lā saut (tanpa huruf dan suara) tetapi bisa dilihat sebagai lambang-lambang berupa huruf-huruf atau suara-suara yang bagi penerimanya (para nabi) dapat dipahami dengan jelas dan terang sehingga tidak ada keraguan apapun. Sebaliknya yang materi di-spiritual-kan atau dibersihkan dari debu-debu dunia dan ini bisa dicapai ketika manusia berhasil melakukan pembersihan diri (tazkiyah an-nafs).[11]
‘Ālam ajsām adalah alam fisik atau jasmani karena terdiri dari jasad dan tubuh, baik yang organik maupun inorganik, disebut pula alam elemental, karena terdiri dari berbagai unsur (elemen) seperti tanah, air, udara dan api.
Kata insān dipandang berasal dari turunan beberapa kata. Misalnya uns, yang artinya cinta. Sedang yang lain memandangnya berasal dari nās, yang artinya pelupa, karena manusia hidup di dunia dimulai dari terlupa dan berakhir dengan terlupa. Yang lain lagi berkata bahwa asalnya adalah ‘ain san, “seperti mata”. Manusia adalah mata, dengan mana Tuhan menurunkan sifat dan asma-Nya secara terbatas. Insan kamil karenanya merupakan cermin yang memantulkan sifat dan asma Tuhan. Gulshan-i-Raz berkata
Adam ayina alam aks wa insan
Komentar