Upaya Eropa Mengatasi Sampah Pangan
Rantai supermarket Tesco di Inggris siap mengambil langkah untuk
mengurangi sampah pangan. Di Jerman, sejumlah perusahaan tengah mencari
cara untuk mengatasi peningkatan sampah makanan.
Sebuah studi menemukan bahwa jumlah makanan sisa di Inggris berarti 830 Euro per keluarga per tahun yang terbuang sia-sia.
Masalah sampah pangan di Inggris mendorong raksasa ritel Tesco bertekad
untuk mengurangi hampir 60.000 ton sisa makanan dari penyuplai dan
konsumen setiap tahun.
Tesco berencana mengakhiri penawaran pembelian berganda, yang mendorong konsumen untuk membeli melebihi kebutuhan. Riteler terbesar Inggris tersebut menjanjikan koordinasi dengan petani untuk mengurangi hama, memperbaiki rute transportasi pangan dan berbagi tips penyimpanan makanan dengan konsumen.
Mengatasi sampah pangan
Setiap tahun 1,3 miliar ton makanan dibuang secara global, menurut statistik PBB tahun 2013. Ini setara dengan sepertiga total pangan di dunia.
FAO mengimbau warga dunia untuk menyuguhkan porsi yang lebih kecil, memanfaatkan makanan sisa, merencanakan kegiatan belanja dan menyumbangkan makanan lebih kepada anggota masyarakat yang membutuhkan.
Namun menurut Njie, bukan hanya konsumen yang menghambur-hamburkan makanan. Aktor lain dalam rantai makanan, seperti pemerintah dan organisasi internasional seperti PBB, harus memikirkan kembali perilaku terhadap pangan.
Sebuah pendekatan baru
ReFood, sebuah perusahaan Jerman, menemukan pendekatan ramah lingkungan terhadap sampah pangan. Perusahaan ini mengambil sampah makanan dan dapur yang dihasilkan industri pangan, supermarket, restoran, dan katering.
"Di Jerman ada aturan bahwa pelaku industri pangan bertanggung jawab atas pembuangan sisa makanan," jelas Nicolas Boy dari ReFood. "Makanan sisa tidak bisa begitu saja dibuang ke tempat pembuangan sampah karena sampah makanan yang meluruh mengeluarkan metana, sebuah gas rumah kaca."
ReFood menjemput sampah pangan, membersihkan dan mendaur ulang sampah minyak goreng, seraya mengekstrak bahan dasar yang dibutuhkan untuk memproduksi biodiesel, begitu juga energi ramah lingkungan dalam bentuk listrik dan panas dari pabrik biogas.
"Ini proses yang rumit dan membutuhkan perencanaan logistik," ungkap Boy. "Kotoran harus difilter, sisa makanan harus dipanaskan pada suhu 70 derajat untuk membunuh kuman dan baru setelah itu biomassa siap untuk masuk pabrik biogas."
Namun imbalannya setimpal. Tidak hanya sampah pangan terdaur ulang dan dapat dimanfaatkan lagi, tapi sepanjang proses daur ulang, listrik dan panas bagi 26.000 rumah tangga tercipta. Pupuk organik untuk pertanian pun ikut tercipta dalam proses.
Meski pendekatan ini berguna dan berkelanjutan, hanya dapat diterapkan pada sampah pangan yang dihasilkan produsen komersial. ReFood tidak mengambil sampah makanan dari rumah tangga. Padahal rumah tangga di Jerman memproduksi mayoritas sampah pangan, karena mereka tidak terikat hukum untuk membuang sisa makanan.
Tesco berencana mengakhiri penawaran pembelian berganda, yang mendorong konsumen untuk membeli melebihi kebutuhan. Riteler terbesar Inggris tersebut menjanjikan koordinasi dengan petani untuk mengurangi hama, memperbaiki rute transportasi pangan dan berbagi tips penyimpanan makanan dengan konsumen.
Mengatasi sampah pangan
Setiap tahun 1,3 miliar ton makanan dibuang secara global, menurut statistik PBB tahun 2013. Ini setara dengan sepertiga total pangan di dunia.
Riteler tak bertanggung jawab dan perilaku konsumen berkontribusi pada tingginya jumlah sampah pangan
"Langkah pertama adalah meningkatkan kesadaran bahwa sampah makanan itu
sebuah masalah. Ini harus berawal dari konsumen," kata Divine Njie dari
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) kepada DW.FAO mengimbau warga dunia untuk menyuguhkan porsi yang lebih kecil, memanfaatkan makanan sisa, merencanakan kegiatan belanja dan menyumbangkan makanan lebih kepada anggota masyarakat yang membutuhkan.
Namun menurut Njie, bukan hanya konsumen yang menghambur-hamburkan makanan. Aktor lain dalam rantai makanan, seperti pemerintah dan organisasi internasional seperti PBB, harus memikirkan kembali perilaku terhadap pangan.
Sebuah pendekatan baru
ReFood, sebuah perusahaan Jerman, menemukan pendekatan ramah lingkungan terhadap sampah pangan. Perusahaan ini mengambil sampah makanan dan dapur yang dihasilkan industri pangan, supermarket, restoran, dan katering.
"Di Jerman ada aturan bahwa pelaku industri pangan bertanggung jawab atas pembuangan sisa makanan," jelas Nicolas Boy dari ReFood. "Makanan sisa tidak bisa begitu saja dibuang ke tempat pembuangan sampah karena sampah makanan yang meluruh mengeluarkan metana, sebuah gas rumah kaca."
ReFood menjemput sampah pangan, membersihkan dan mendaur ulang sampah minyak goreng, seraya mengekstrak bahan dasar yang dibutuhkan untuk memproduksi biodiesel, begitu juga energi ramah lingkungan dalam bentuk listrik dan panas dari pabrik biogas.
"Ini proses yang rumit dan membutuhkan perencanaan logistik," ungkap Boy. "Kotoran harus difilter, sisa makanan harus dipanaskan pada suhu 70 derajat untuk membunuh kuman dan baru setelah itu biomassa siap untuk masuk pabrik biogas."
Namun imbalannya setimpal. Tidak hanya sampah pangan terdaur ulang dan dapat dimanfaatkan lagi, tapi sepanjang proses daur ulang, listrik dan panas bagi 26.000 rumah tangga tercipta. Pupuk organik untuk pertanian pun ikut tercipta dalam proses.
Meski pendekatan ini berguna dan berkelanjutan, hanya dapat diterapkan pada sampah pangan yang dihasilkan produsen komersial. ReFood tidak mengambil sampah makanan dari rumah tangga. Padahal rumah tangga di Jerman memproduksi mayoritas sampah pangan, karena mereka tidak terikat hukum untuk membuang sisa makanan.
lingkaran dekatnya, sementara ekonomi yang
sebelumnya kuat, kini limbung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar