Apa Titik Temu Antara Ahadiyyah, Ein Sof, Atma, dan Tao? (3-habis)
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Mekanisme pemahaman Maqam Ahadiyyah-Wahidiyyah ada kemiripan dengan konsep Atna-Brahma dalam agama Hindu. Dalam agama Hindu, dikenal ada dua jalan untuk mengenal, mendekatkan, dan menyatukan diri dengan Tuhan, yaitu jalan dari luar (The Outer Path), dan jalan dari dalam diri (The Inner Path).
Jalan pertama dapat membantu seseorang mengenal Tuhan melalui penyaksian Tuhan yang ada di mana-mana. Di mana pun seseorang berada di situ dapat menyaksikan wajah Tuhan ada di mana-mana. Kesadaran bahwa alam raya (cosmos) sebagai omnipresent Tuhan merujuk kepada Brahma.
Ciri utama jalan pertama ini melalui pengabdian, kesetiaan, dan kesalehan. Adapun jalan kedua (The Inner Path) dapat membantu seseorang mengenal Tuhan melalui penghayatan mendalam terhadap diri sendiri. Kesadaran bahwa Tuhan bersama kita (God Within) dan Ia ada lebih dalam dari organ tubuh kita paling dalam merupakan kesadaran terhadap Tuhan yang lebih tinggi (Atma).
Ciri utama jalan ini ialah kontemplasi dan penyucian jiwa yang dalam dunia tasawuf mungkin dapat dipadankan dengan konsep tafakkur dan tadzakkur untuk pembersihan jiwa (al-tadzkiyah al-nafs). Kesadaran utnuk menggunakan kedua jalan ini secara seimbang tentu merupakan pendekatan paling baik karena baik jalan pertama maupun jalan kedua sama-sama menjadikan Tuhan sebagai objek tujuan.
Dalam Islam integrasi, syariat dan hakikat mutlak diperlukan. Ibnu Athaillah pernah menyatakan, barangsiapa yang bertasawuf tanpa berfikih, maka ia zindik. Barang siapa yang berfikih tanpa bertasawuf, maka ia fasik. Barangsiapa yang menggabung keduanya, maka ia mencapai hakikat.
Kombinasi dan integrasi syariat dan hakikat merupakan jalan paling mulia dalam Islam. Dalam agama Hindu, orang-orang yang menjalankan dengan baik dan setia secara seimbang antara kedua pendekatan di atas berpotensi menghimpun apa yang disebutnya dengan kekuatan Ilahi (The Divine Force).
Para Rezi sering kali mempertunjukkan keajaiban-keajaiban yang tidak lazim dilakukan orang biasa. Dalam Islam, mungkin dapat dipadankan dengan wali yang memiliki karamah, yang memiliki kemampuan untuk melakukan perbuatan luar biasa (khaiqun lil ‘adah), walaupun dalam Islam karamah tidak pernah menjadi tujuan para wali.
Dari uraian di atas, ternyata agama-agama tertentu mempunyai kedekatan secara metodologis di dalam menjelaskan konsep ketuhanan. Satu sama lain bisa saling membantu menjelaskan konsep ketuhanannya masing-masing. Tentu saja antara satu agama dan agama lain banyak sekali perbedaannya, tetapi lebih baik menekankan aspek titik temu daripada menekankan aspek persamaan. Wallahua’lam.
Jalan pertama dapat membantu seseorang mengenal Tuhan melalui penyaksian Tuhan yang ada di mana-mana. Di mana pun seseorang berada di situ dapat menyaksikan wajah Tuhan ada di mana-mana. Kesadaran bahwa alam raya (cosmos) sebagai omnipresent Tuhan merujuk kepada Brahma.
Ciri utama jalan pertama ini melalui pengabdian, kesetiaan, dan kesalehan. Adapun jalan kedua (The Inner Path) dapat membantu seseorang mengenal Tuhan melalui penghayatan mendalam terhadap diri sendiri. Kesadaran bahwa Tuhan bersama kita (God Within) dan Ia ada lebih dalam dari organ tubuh kita paling dalam merupakan kesadaran terhadap Tuhan yang lebih tinggi (Atma).
Ciri utama jalan ini ialah kontemplasi dan penyucian jiwa yang dalam dunia tasawuf mungkin dapat dipadankan dengan konsep tafakkur dan tadzakkur untuk pembersihan jiwa (al-tadzkiyah al-nafs). Kesadaran utnuk menggunakan kedua jalan ini secara seimbang tentu merupakan pendekatan paling baik karena baik jalan pertama maupun jalan kedua sama-sama menjadikan Tuhan sebagai objek tujuan.
Dalam Islam integrasi, syariat dan hakikat mutlak diperlukan. Ibnu Athaillah pernah menyatakan, barangsiapa yang bertasawuf tanpa berfikih, maka ia zindik. Barang siapa yang berfikih tanpa bertasawuf, maka ia fasik. Barangsiapa yang menggabung keduanya, maka ia mencapai hakikat.
Kombinasi dan integrasi syariat dan hakikat merupakan jalan paling mulia dalam Islam. Dalam agama Hindu, orang-orang yang menjalankan dengan baik dan setia secara seimbang antara kedua pendekatan di atas berpotensi menghimpun apa yang disebutnya dengan kekuatan Ilahi (The Divine Force).
Para Rezi sering kali mempertunjukkan keajaiban-keajaiban yang tidak lazim dilakukan orang biasa. Dalam Islam, mungkin dapat dipadankan dengan wali yang memiliki karamah, yang memiliki kemampuan untuk melakukan perbuatan luar biasa (khaiqun lil ‘adah), walaupun dalam Islam karamah tidak pernah menjadi tujuan para wali.
Dari uraian di atas, ternyata agama-agama tertentu mempunyai kedekatan secara metodologis di dalam menjelaskan konsep ketuhanan. Satu sama lain bisa saling membantu menjelaskan konsep ketuhanannya masing-masing. Tentu saja antara satu agama dan agama lain banyak sekali perbedaannya, tetapi lebih baik menekankan aspek titik temu daripada menekankan aspek persamaan. Wallahua’lam.
Komentar