Apa Titik Temu antara Ahadiyyah, Ein Sof, Atma, dan Tao? (2)
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Sefirot dapat dihubungkan dengan sifat-sifat Allah SWT dalam Islam. Pada sifat-sifat dan nama-nama Allah, masing-masing memiliki spesifikasi sesuai dengan kemahasempurnaan-Nya. Nama-nama ini dapat dijadikan sebagai entry point untuk lebih dekat lagi dengan Allah SWT.
Seseorang yang diliputi berbagai dosa dan maksiat dapat mendekatkan diri kepada Tuhan melalui penghayatan terhadap sifat dan nama-nama-Nya, seperti At-Tawwab (Maha Penerima Taubat), Al-Gafur (Maha Pengampun), dan Maha Pemaaf (Al-Afuw), dan Maha Indah (Al-Jamal).
Meskipun demikian, sikap permisif tidak bisa juga ditoleransi karena Allah juga memiliki sifat yang kebalikannya, yaitu Al-Muntaqim (Maha Pendendam), Al-Mutakabbir (Maha Angkuh), dan Al-Jalal (Maha Perkasa). Para Kabbalis juga mempunyai persamaan dengan kalangan sufi tentang keesaan Tuhan.
Kalangan sufi dan Kabbalis sangat berhati-hati menjelaskan hal ini karena bisa jatuh ke dalam apa yang disebut dengan kesesatan. Para teolog dan fuqaha (ahli hukum) sering mempertanyakan bahkan menyesatkan para sufi dan Kabbalis karena tuduhan memperkenalkan konsep keqadiman ganda (ta’addud al-qudama).
Bagi para teolog dan fuqaha, Tuhan harus suci dari pengaruh selain-Nya karena Dia Yang Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Besar dan Maha Takterbandingkan (Incomparability) dengan apa pun.
Sementara sufi berbicara tentang Maqam Ahadiyyah dengan Maqam Wahidiyyah, Al-A’yan Ats-Tsabitah, Shifat, dan Asma’ yang dianggapnya bukan alam atau bukan makhluk atau maj’ul. Nanti di level al-wujud al-kharijiyyah ke bawah, yang meliputi alam Jabarut, alam Barzakh, dan alam Mulk/Syahadah baru dianggap sebagai makhluk atau maj’ul.
Itu pun oleh kalangan sufi seperti Ibnu Arabi tidak mau menggunakan istilah Khaliq dan makhluk, tetapi Al-Haq dan Al-Khalq karena meskipun keduanya berbeda, tetapi tidak bisa dipisahkan. Wujud al-khalq hanyalah merupakan efek dan manifestasi (tajalli) dari Al-Haq itu sendiri.
Dalam Taoisme, relasi hamba-Tuhan dijelaskan dengan konsep Dualitas Ilahi (The Duality of God). Dalam The Tao Te Ching disebutkan bahwa The Sacred God merupakan tanpa nama yang merupakan asal langit dan bumi (The Nameless is the origin of haven and earth).
Langit digambarkan dengan Yang dan bumi digambarkan dengan Yin. Tuhan ibarat langit: besar, tinggi, terang, dan kreatif, sedangkan makhluk ibarat bumi: kecil, rendah, gelap, dan reseptif. Yang (muatstsir): menimbulkan pengaruh dalam segala hal dan Yin (ma’tsur): menerima pengaruh dalam segala hal.
Interaksi antara Yang/Muatstsir dan Yin/Ma’tsur menimbulkan 1.000 hal (al-katsrah). Tuhan menimbulkan realitas dan realitas menimbulkan entitas. Yang yang bertindak, sedangkan yin yang menerima tindakan. Tuhan memerlukan hamba jika Dia harus menjadi Tuhan dan hamba memerlukan Tuhan jika dia harus menjadi hamba.
Dengan demikian, makhluk merupakan subsistensi Tuhan dan Tuhan merupakan substensi makhluk. Dalam teori Ad infinitum Pytagoras, satu sama dengan setengah dari dua, dan seterusnya sampai bilangan paling tinggi. Masing-masing bilangan membutuhkan angka satu. Tidak ada angka sejuta atau semiliar tanpa angka satu.
Seseorang yang diliputi berbagai dosa dan maksiat dapat mendekatkan diri kepada Tuhan melalui penghayatan terhadap sifat dan nama-nama-Nya, seperti At-Tawwab (Maha Penerima Taubat), Al-Gafur (Maha Pengampun), dan Maha Pemaaf (Al-Afuw), dan Maha Indah (Al-Jamal).
Meskipun demikian, sikap permisif tidak bisa juga ditoleransi karena Allah juga memiliki sifat yang kebalikannya, yaitu Al-Muntaqim (Maha Pendendam), Al-Mutakabbir (Maha Angkuh), dan Al-Jalal (Maha Perkasa). Para Kabbalis juga mempunyai persamaan dengan kalangan sufi tentang keesaan Tuhan.
Kalangan sufi dan Kabbalis sangat berhati-hati menjelaskan hal ini karena bisa jatuh ke dalam apa yang disebut dengan kesesatan. Para teolog dan fuqaha (ahli hukum) sering mempertanyakan bahkan menyesatkan para sufi dan Kabbalis karena tuduhan memperkenalkan konsep keqadiman ganda (ta’addud al-qudama).
Bagi para teolog dan fuqaha, Tuhan harus suci dari pengaruh selain-Nya karena Dia Yang Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Besar dan Maha Takterbandingkan (Incomparability) dengan apa pun.
Sementara sufi berbicara tentang Maqam Ahadiyyah dengan Maqam Wahidiyyah, Al-A’yan Ats-Tsabitah, Shifat, dan Asma’ yang dianggapnya bukan alam atau bukan makhluk atau maj’ul. Nanti di level al-wujud al-kharijiyyah ke bawah, yang meliputi alam Jabarut, alam Barzakh, dan alam Mulk/Syahadah baru dianggap sebagai makhluk atau maj’ul.
Itu pun oleh kalangan sufi seperti Ibnu Arabi tidak mau menggunakan istilah Khaliq dan makhluk, tetapi Al-Haq dan Al-Khalq karena meskipun keduanya berbeda, tetapi tidak bisa dipisahkan. Wujud al-khalq hanyalah merupakan efek dan manifestasi (tajalli) dari Al-Haq itu sendiri.
Dalam Taoisme, relasi hamba-Tuhan dijelaskan dengan konsep Dualitas Ilahi (The Duality of God). Dalam The Tao Te Ching disebutkan bahwa The Sacred God merupakan tanpa nama yang merupakan asal langit dan bumi (The Nameless is the origin of haven and earth).
Langit digambarkan dengan Yang dan bumi digambarkan dengan Yin. Tuhan ibarat langit: besar, tinggi, terang, dan kreatif, sedangkan makhluk ibarat bumi: kecil, rendah, gelap, dan reseptif. Yang (muatstsir): menimbulkan pengaruh dalam segala hal dan Yin (ma’tsur): menerima pengaruh dalam segala hal.
Interaksi antara Yang/Muatstsir dan Yin/Ma’tsur menimbulkan 1.000 hal (al-katsrah). Tuhan menimbulkan realitas dan realitas menimbulkan entitas. Yang yang bertindak, sedangkan yin yang menerima tindakan. Tuhan memerlukan hamba jika Dia harus menjadi Tuhan dan hamba memerlukan Tuhan jika dia harus menjadi hamba.
Dengan demikian, makhluk merupakan subsistensi Tuhan dan Tuhan merupakan substensi makhluk. Dalam teori Ad infinitum Pytagoras, satu sama dengan setengah dari dua, dan seterusnya sampai bilangan paling tinggi. Masing-masing bilangan membutuhkan angka satu. Tidak ada angka sejuta atau semiliar tanpa angka satu.
Komentar